Setiap orang kiranya dapat menjelma menjadi sosok yang mengajari kita tentang sesuatu hal. Tanpa harus berseragam dengan pin Korpri disalah satu bagian dadanya, atau bahkan tanpa menerima gaji sekalipun. Saya hanya merasa memiliki tanggung jawab untuk meluruskan definisi guru, bagi banyak benak di negeri ini.
Setiap orang kiranya dapat menjelma menjadi sosok yang mengajari kita tentang sesuatu hal. Tanpa harus berseragam dengan pin Korpri disalah satu bagian dadanya, atau bahkan tanpa menerima gaji sekalipun. Saya hanya merasa memiliki tanggung jawab untuk meluruskan definisi guru, bagi banyak benak di negeri ini.
Karena racun status sosial dengan segala macam bentuk stratifikasi kelasnya, telah mengabu-abukan makna guru, bagi banyak murid di Indonesia. Dalam puluhan dasawarsa terakhir, orang di negeri ini—apabila mendengar kata guru, akan membayangkan sosok berseragam dengan penuh wibawa keformalannya. Atau bila perlu ditambah kesan kacamata minus menggantung di batang hidungnya, plus jidat yang sedikit licin dan lebar, dan tentunya mendapat tunjangan di setiap awal bulan.
Mungkin tak ada salahnya gambaran seperti itu. Toh kita sudah teramat lazim mengenal orang-orang yang berprofesi sebagai pengajar di sekolah dengan sebutan guru. Di beberapa daerah—terutama di daerah terpencil, seorang guru yang mengajar di sekolah, teramat dihormati. Bahkan nyaris seperti pemuka agama bagi penduduk setempat. Didengar pendapatnya dalam rapat desa, sekalipun masalah tokoh elit di desa tersebut hanya membicarakan tentang siapa caleg yang akan didukung warga pada 2009. Sebuah wacana pelik yang tidak punya korelasi langsung dengan pekerjaannya sehari-hari.
Sayangnya kita lupa pada makna kalimat setiap orang bisa menjadi guru, bahkan tanpa dipandang sebagai guru sekalipun. Faktanya di zaman dahulu, orang yang mengajari silat disebut sebagai guru silat, orang yang mengajarkan saya isi Al Qur’an, disebut guru “ngaji”. Memang siapapun yang memberi sesuatu terkait pencerahan dan peningkatan pemahaman kita, kiranya sangatlah layak disebut sebagai guru.
Kalau mau jujur, para guru punya peran tersendiri dalam eksistensi peradaban manusia, peran yang tak bisa dinodai hanya karena, ia “nyambi” jual diktat atau jadi pemulung sekalipun. Mereka tetap menjadi orang di garis depan yang menanggung segala input dan output pemahaman kita kelak, dikemudian hari di hadapan sang Khalik.
Hanya saja, pengabdian saat dibakukan dalam bentuk profesi kerap punya konsekwensi sendiri. Konsekwensi dimana orang mulai melupakan kenikmatan mengabdi. Atau lupa pada rasa bangga terhadap keberhasilan muridnya memegang prinsip hakiki menjalani hidup.
Sosok guru seperti itu, mungkin kini hanya haru biru terdengar lewat film fenomenal Laskar Pelangi—yang membuat kita bangga pada fakta bahwa guru semacam itu memang masih ada di Indonesia, meski satu-dua saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar