Selamat pagi
kupergi belajar sampai kan nanti
Selamat belajar nak penuh semangat
rajinlah selalu tentu kau dapat
hormati gurumu sayangi teman
itulah tandanya kau murid budiman"
Lagu itu kembali terngiang sembari membuka ingatan kita pada masa kanak-kanak dengan seragam merah putihnya waktu itu. Terbayang pula wajah-wajah yang telah mengajarkan kita tentang banyak hal, hingga kita tidak merasa menjadi orang bodoh dan telah menjadi seperti sekarang.
Mereka lebih akrab kita sebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka adalah Guru. Pekerjaan mulia mengajar dan mendidik ratusan murid setiap tahun barangkali baginya adalah pangabdian. Sungguh, mereka tak ingin dianggap berjasa. Meski mereka telah melahirkan banyak profesor, dokter, insinyur dan ratusan gelar yang lain. Bertahun-tahun lamanya, hingga tak terhitung jumlah kapur tulis yang ia goreskan di papan demi mencerdaskan anak didiknya, penerus bangsanya. Beradu dengan keringat yang menetes dari kening hingga membasahi ujung kerah bajunya. Kesejahteraan menjadi sekedar harapan terkalahkan ketulusan dan kejujuran sebuah pengabdian. Sungguh, kesejahteraan itu memang layak mereka dapatkan.
Tapi, sungguh luar biasa perubahan yang terjadi. Pada kurun waktu terakhir, derajat mereka ditinggikan, oleh pemerintah gaji mereka dinaikkan, ditambah dengan beberapa tunjangan yang membuat keluarga mereka menjadi lebih sejahtera. Tentu sangat jauh jika dibandingkan dengan nasib mereka jaman dulu. Jaman Oemar Bakrie yang mengajar hanya berbekal tas hitam dari kulit buaya dan sepeda kumbangnya. "Menjadi guru jujur berbakti memang makan ati" begitu nyanyian sumbang pernah terdengar untuk Oemar Bakrie yang ia sendiri seringkali tak pernah merasa gaji mereka seperti dikebiri.
Saat ini tiba-tiba profesi pengajar, sebagai guru menjadi pilihan banyak orang. Mengesampingkan gelar yang mereka sandang. Pahlawan tanda jasa menjadi barang rebutan di tengah lapangan kerja yang menyempit. Diperburuk sistem pendidikan yang dianggap banyak orang salah kaprah dan banyak kelemahan di sisi-sisinya. Pada akhirnya kode etik hanya sebagai buku pegangan saja. Sedikit menyisakan ketulusan untuk mereka merasa terpanggil menunaikan karyanya di sela pengabdiannya. Peran mereka hanya sebatas pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan semata. Kurikulum menjadi barang sakral yang hanya sekedar mempersiapkan siswa menghadapi kelulusan ujian akhir sekolah. Barangkali semakin terkikis hingga tak menyisakan rasa berbakti membimbing peserta didik membentuk sosok pribadi manusia yang utuh dan bertanggung jawab sesuai potensi yang dimiliki. "Menjadi guru jujur berbakti memang makan ati", nyanyian untuk Oemar Bakrie pun kembali nyaring terdengar, beradu dengan kesejahteraan yang mereka perebutkan.
Tiba-tiba pula kembali teringat gerutuan saya untuk membangkitkan minat baca. Barangkali hanya sekedar untuk membuat guru yang dulu telah mengajari banyak hal kepada saya dengan keikhlasan dan kejujuran agar tidak merasa gagal, menjadikan saya sebagai murid yang budiman seperti lagu di atas. Hingga pada akhirnya saya merasa harus menyadarinya bahwa tak ada guru yang gagal, yang ada hanya murid yang malas.
Terimakasih Guru. Selamat Hari Guru untukmu. Masa depan anak bangsa ada ditanganmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar